|
Terinspirasi dari kisah seorang teman |
Hari ini usiaku
tepat 27 tahun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah merayakan
hari jadiku karena itu bukan kebiasaan keluarga kami. Sekarang aku sudah
menyandang gelar S2 dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Jika aku
mengingat masa-masa kecilku ketika masih berusia sepuluh tahunan aku tidak
pernah menyangka akan hidup seperti sekarang ini. Semua ini berkat seorang
wanita yang wajahnya tidak akan pernah aku lupakan, dia adalah ibuku.
Aku adalah anak
yang lahir dengan kondisi prematur, aku dilahirkan pada usia 7 bulan dalam
kandungan. Bayi yang lahir dengan kondisi sepertiku biasanya memilki fisik yang
tidak terlalu kuat, selain itu karena perkembangan otak yang belum sempurna aku
memiliki kelambatan dalam proses belajar di masa kecilku. Masih jelas di
ingatanku pada waktu SMP aku adalah anak yang paling terbelakang dalam pelajaran, baik itu pelajaran membaca
terlebih lagi tentang hitung-hitungan. Aku pernah tinggal kelas karena tidak
mampu untuk lulus setengah dari semua mata pelajaran. Pada saat itu aku sempat
putus asa dan ingin berhenti dari sekolah karena malu kepada teman dan juga
guru-guru yang ada di sekolah. Tetapi ibu dengan sabar dan penuh kasih sayang
memberikan semangat kepadaku. “Mira, kamu jangan menyerah yah ibu akan selalu
membantu kamu belajar agar kamu bisa lulus dan naik kelas tahun depan” bujuk ibu sambil memelukku erat. “tapi bu,
sampai kapan ibu harus mengorbankan waktu istirahat ibu untuk mengajari aku ?,
lebih baik aku berhenti dari sekolah bu”. Sambil tersenyum ibu memberikan
nasehat yang sampai saat ini masih jelas diingatanku, “Mira, kamu adalah satu-satunya anak ibu dan
ibu akan merasa berdosa jika masa depan kamu tidak lebih baik daripada ibu,
kamu harus tetap sekolah dan ibu selalu punya waktu untuk mebantu kamu
belajar”. Aku hanya bisa meneteskan air mata mendengar nasehat ibu pada saat
itu. Ibu saya adalah seorang guru SD yang terkenal sangat baik kepada
siswa-siswanya. Selain harus mengurus keperluanku setiap hari ibu juga harus
mengajar untuk mencari nafkah buat kami. Semua itu ibu lakukan seorang diri
karena sejak usiaku 5 tahun ayah meninggalkan kami untuk menikah lagi. Semenjak
peristiwa itu aku tidak pernah lagi bertemu ayah atau sekedar mandengar
kabarnya.
Meskipun ditinggal
suami, ibu tidak lantas menjadi wanita yang lemah, ibu terus merawat dan
membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. ibu terus berjuang untuk membantu
aku dalam melanjutkan pendidikanku bahkan sampai masuk universitas. Ketika aku
mendaftar untuk masuk kuliah ibu yang waktu itu usianya sudah hampir 60 tahun
dan kesehatannya juga mulai terganggu rela antri berjam-jam untuk mendapatkan
formulir demi aku. ibu tidak mengizinkan aku ikut antri karena takut jika aku
akan pingsan, bahkan kami sempat berdebat sebelum antrian tersebut. “Mira, kamu
tunggu ibu disini nak, biar ibu mengambilkan formulir untuk kamu” kata ibu
penuh semangat sambil menggenggam tanganku. “tapi bu, biar aku saja yang ikut
mengantri, ibu saja yang istirahat” kataku sambil menatap ibu. Dengan nada
penuh bujukan ibu mengantar aku ke sebuah bangku di dekat kami. “nak, kamu
lihatkan antrian itu sangat panjang dan
ibu tidak ingin melihat kamu harus masuk rumah sakit lagi seperti pada
waktu itu hanya karena beridir terlalu lama”. Aku memang pernah di rawat
beberapa hari di rumah sakit karena kondisiku drop akibat berdiri selama 2 jam
pada waktu orientasi siswa baru di SMA. Sejak peristiwa itu ibu tidak pernah
mengizinkan aku untuk berada di luar ruangan terlalu lama sesuai dengan saran
dari dokter. “nak, ibu masih sehat, kalau hanya untuk antri seperti ini ibu
sanggup, itulah gunanya ibu ada di sini untuk membantu dan menemani kamu nak.
Ibu menatapku sambil tersenyum.
Empat tahun lamanya
aku menjadi mahasiswa akhirnya aku
dinobatkan sebagai sarjana dengan predikat memuaskan. Ibu sangat bahagia
melihat aku memakai pakaian wisuda, karena bahagianya ibu bahkan lupa ia sedang
sakit dan butuh istirahat. Malam hari sebelum aku wisuda ibu tidak tidur karena
terus menyiapkan segala sesuatu untuk acara syukuran wisuda anak yang sangat
dikasihinya, belum lagi paginya ibu harus menemani aku ke kampus untuk
pelaksanaan upacara wisuda. Akibatnya kondisi ibu memburuk dan sore hari harus
masuk rumah sakit. Aku hanya bisa berdoa melihat kondisi ibu yang begitu lemah,
memang setahun yang lalu dokter mengatakan kalau ibu mengalalami gangguan
pernapasan, selain itu ibu juga sudah berusia lanjut sehingga kondisi fisiknya
semakin lemah. Setelah melaksanakan sholat magrib tiga rakaat aku mendatangi
ibu dan mencium tangan dan keningnya, rupanya ibu menyadari kehadiranku. Dengan
senyumnya yang khas ibu menatapku sambil menggenggam tanganku. “Mira, maafkan
ibu nak, karena telah merusak hari di mana kamu harusnya berbahagia”. aku
meraih kursi dari samping dan duduk di depan ibu yang wajahnya tampak begitu
cerah meskipun kondisinya sangat lemah, ada ketakutan dalam diriku melihat
kondisi ibu seperti itu. “bu, aku yang harus minta maaf karena tidak
memperhatikan kondisi ibu”. Dengan derai airmata aku melanjutkan kata-kataku.
“selama ini ibu terlalu banyak berkorban, sedangkan aku belum bisa memberikan
apa-apa untuk ibu, aku tidak pernah membuat ibu bahagia, aku hanya bisa
menyusahkan ibu”.“Anakku hari ini ibu sangat bahagia karena dirimu, kamu sudah
menjadi seorang sarjana, ibu bangga dengan semua kerja keras kamu. Ini adalah
hadiah terbesar dalam hidup ibu nak”. Ibu terus menatapku tapi tatapannya kini
tampak lemah, aku terus meneteskan airmata di depan ibu.“Nak,jangan sedih, ibu
tidak ingin melihat kamu menangis, kamu harus tersenyum karena ini hari bahagia
dalam hidup kita”. Aku hanya terdiam menatap ibu. “Anakku, setiap manusia itu
punya batas usia dan jika hari ini ibu harus meninggalkan kamu, kamu harus
tetap semangat untuk melanjutkan hidup. Maafkan ibu karena tidak bisa lagi
menemani kamu, maafkan dengan segala kekurangan ibu dalam membimbing kamu.
Jangan lupa untuk tetap mendoakan ayahmu agar dia selalu dalam lindungan-Nya”.
Malam itu ibu meniggalkan aku dengan penuh ketenangan. Wanita yang selalu
memberikan harapan dalam hidupku telah pergi untuk selamanya, tapi harapan itu
akan tetap ada di hati ini bagaikan lilin yang memberi cahaya agar aku dapat
terus melanjutkan hidup.