Wednesday 5 April 2017

Lilin Harapanku

Terinspirasi dari kisah seorang teman


Hari ini usiaku tepat 27 tahun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya aku tidak pernah merayakan hari jadiku karena itu bukan kebiasaan keluarga kami. Sekarang aku sudah menyandang gelar S2 dan bekerja di sebuah instansi pemerintah. Jika aku mengingat masa-masa kecilku ketika masih berusia sepuluh tahunan aku tidak pernah menyangka akan hidup seperti sekarang ini. Semua ini berkat seorang wanita yang wajahnya tidak akan pernah aku lupakan, dia adalah ibuku.
Aku adalah anak yang lahir dengan kondisi prematur, aku dilahirkan pada usia 7 bulan dalam kandungan. Bayi yang lahir dengan kondisi sepertiku biasanya memilki fisik yang tidak terlalu kuat, selain itu karena perkembangan otak yang belum sempurna aku memiliki kelambatan dalam proses belajar di masa kecilku. Masih jelas di ingatanku pada waktu SMP aku adalah anak yang paling terbelakang dalam  pelajaran, baik itu pelajaran membaca terlebih lagi tentang hitung-hitungan. Aku pernah tinggal kelas karena tidak mampu untuk lulus setengah dari semua mata pelajaran. Pada saat itu aku sempat putus asa dan ingin berhenti dari sekolah karena malu kepada teman dan juga guru-guru yang ada di sekolah. Tetapi ibu dengan sabar dan penuh kasih sayang memberikan semangat kepadaku. “Mira, kamu jangan menyerah yah ibu akan selalu membantu kamu belajar agar kamu bisa lulus dan naik kelas tahun depan”  bujuk ibu sambil memelukku erat. “tapi bu, sampai kapan ibu harus mengorbankan waktu istirahat ibu untuk mengajari aku ?, lebih baik aku berhenti dari sekolah bu”. Sambil tersenyum ibu memberikan nasehat yang sampai saat ini masih jelas diingatanku,  “Mira, kamu adalah satu-satunya anak ibu dan ibu akan merasa berdosa jika masa depan kamu tidak lebih baik daripada ibu, kamu harus tetap sekolah dan ibu selalu punya waktu untuk mebantu kamu belajar”. Aku hanya bisa meneteskan air mata mendengar nasehat ibu pada saat itu. Ibu saya adalah seorang guru SD yang terkenal sangat baik kepada siswa-siswanya. Selain harus mengurus keperluanku setiap hari ibu juga harus mengajar untuk mencari nafkah buat kami. Semua itu ibu lakukan seorang diri karena sejak usiaku 5 tahun ayah meninggalkan kami untuk menikah lagi. Semenjak peristiwa itu aku tidak pernah lagi bertemu ayah atau sekedar mandengar kabarnya.
Meskipun ditinggal suami, ibu tidak lantas menjadi wanita yang lemah, ibu terus merawat dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. ibu terus berjuang untuk membantu aku dalam melanjutkan pendidikanku bahkan sampai masuk universitas. Ketika aku mendaftar untuk masuk kuliah ibu yang waktu itu usianya sudah hampir 60 tahun dan kesehatannya juga mulai terganggu rela antri berjam-jam untuk mendapatkan formulir demi aku. ibu tidak mengizinkan aku ikut antri karena takut jika aku akan pingsan, bahkan kami sempat berdebat sebelum antrian tersebut. “Mira, kamu tunggu ibu disini nak, biar ibu mengambilkan formulir untuk kamu” kata ibu penuh semangat sambil menggenggam tanganku. “tapi bu, biar aku saja yang ikut mengantri, ibu saja yang istirahat” kataku sambil menatap ibu. Dengan nada penuh bujukan ibu mengantar aku ke sebuah bangku di dekat kami. “nak, kamu lihatkan antrian itu sangat panjang dan  ibu tidak ingin melihat kamu harus masuk rumah sakit lagi seperti pada waktu itu hanya karena beridir terlalu lama”. Aku memang pernah di rawat beberapa hari di rumah sakit karena kondisiku drop akibat berdiri selama 2 jam pada waktu orientasi siswa baru di SMA. Sejak peristiwa itu ibu tidak pernah mengizinkan aku untuk berada di luar ruangan terlalu lama sesuai dengan saran dari dokter. “nak, ibu masih sehat, kalau hanya untuk antri seperti ini ibu sanggup, itulah gunanya ibu ada di sini untuk membantu dan menemani kamu nak. Ibu menatapku sambil tersenyum.
Empat tahun lamanya aku menjadi mahasiswa akhirnya aku  dinobatkan sebagai sarjana dengan predikat memuaskan. Ibu sangat bahagia melihat aku memakai pakaian wisuda, karena bahagianya ibu bahkan lupa ia sedang sakit dan butuh istirahat. Malam hari sebelum aku wisuda ibu tidak tidur karena terus menyiapkan segala sesuatu untuk acara syukuran wisuda anak yang sangat dikasihinya, belum lagi paginya ibu harus menemani aku ke kampus untuk pelaksanaan upacara wisuda. Akibatnya kondisi ibu memburuk dan sore hari harus masuk rumah sakit. Aku hanya bisa berdoa melihat kondisi ibu yang begitu lemah, memang setahun yang lalu dokter mengatakan kalau ibu mengalalami gangguan pernapasan, selain itu ibu juga sudah berusia lanjut sehingga kondisi fisiknya semakin lemah. Setelah melaksanakan sholat magrib tiga rakaat aku mendatangi ibu dan mencium tangan dan keningnya, rupanya ibu menyadari kehadiranku. Dengan senyumnya yang khas ibu menatapku sambil menggenggam tanganku. “Mira, maafkan ibu nak, karena telah merusak hari di mana kamu harusnya berbahagia”. aku meraih kursi dari samping dan duduk di depan ibu yang wajahnya tampak begitu cerah meskipun kondisinya sangat lemah, ada ketakutan dalam diriku melihat kondisi ibu seperti itu. “bu, aku yang harus minta maaf karena tidak memperhatikan kondisi ibu”. Dengan derai airmata aku melanjutkan kata-kataku. “selama ini ibu terlalu banyak berkorban, sedangkan aku belum bisa memberikan apa-apa untuk ibu, aku tidak pernah membuat ibu bahagia, aku hanya bisa menyusahkan ibu”.“Anakku hari ini ibu sangat bahagia karena dirimu, kamu sudah menjadi seorang sarjana, ibu bangga dengan semua kerja keras kamu. Ini adalah hadiah terbesar dalam hidup ibu nak”. Ibu terus menatapku tapi tatapannya kini tampak lemah, aku terus meneteskan airmata di depan ibu.“Nak,jangan sedih, ibu tidak ingin melihat kamu menangis, kamu harus tersenyum karena ini hari bahagia dalam hidup kita”. Aku hanya terdiam menatap ibu. “Anakku, setiap manusia itu punya batas usia dan jika hari ini ibu harus meninggalkan kamu, kamu harus tetap semangat untuk melanjutkan hidup. Maafkan ibu karena tidak bisa lagi menemani kamu, maafkan dengan segala kekurangan ibu dalam membimbing kamu. Jangan lupa untuk tetap mendoakan ayahmu agar dia selalu dalam lindungan-Nya”. Malam itu ibu meniggalkan aku dengan penuh ketenangan. Wanita yang selalu memberikan harapan dalam hidupku telah pergi untuk selamanya, tapi harapan itu akan tetap ada di hati ini bagaikan lilin yang memberi cahaya agar aku dapat terus melanjutkan hidup.

3 comments: